
Kordinator Komisariat IMM Universitas Pattimura Ambon, Muhammad Amin Serawak
AMBON, INVESTIGASIMALUKU.COM – Di tengah urgensi global untuk menekan laju perubahan iklim, rencana eksplorasi dan produksi minyak oleh PT Pertamina Hulu Energi (PHE) bersama Petronas dan SK Earthon di wilayah Maluku menuai penolakan masyarakat adat, akademisi, dan aktivis lingkungan.
Penolakan atas proyek blok binaiya ini dinilai tak hanya mengancam keseimbangan ekologis kawasan timur Indonesia, tetapi juga bertentangan dengan komitmen Indonesia terhadap pengendalian krisis iklim.
Kordinator Komisariat IMM Universitas Pattimura Ambon, Muhammad Amin Serawak kepada Investigasimaluku.com, Kamis (5/6/2025) menuturkan, secara ilmiah, pembukaan blok minyak baru oleh PT Pertamina Hulu Energi (PHE) bersama Petronas dan SK earthon, akan meningkatkan emisi gas rumah kaca secara signifikan melalui proses ekstraksi, pembakaran, dan distribusi minyak mentah.
Meski demikian, Maluku yang dikenal dengan kekayaan hayati laut dan daratnya, justru terancam mengalami degradasi lingkungan akibat potensi pencemaran laut, abrasi pesisir, serta kerusakan terumbu karang yang menjadi pusat kehidupan biota laut dan sumber penghidupan masyarakat pesisir.
“ Berdasarkan kajian lingkungan menunjukkan bahwa wilayah perairan dan daratan di sekitar titik eksplorasi memiliki sensitivitas tinggi terhadap perubahan ekosistem. Olehnya itu, saya berharap agar masalah ini perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah Provinsi Maluku, “ pinta Amin.
Menurut Amin, masuknya industri ekstraktif seperti minyak bumi memberikan dampak bagi krisis lingkungan yang sudah berlangsung peningkatan suhu laut, pergeseran musim ikan, dan berkurangnya kualitas udara dan air bersih.
“ Di saat dunia berupaya meninggalkan bahan bakar fosil, proyek ini justru menjadi simbol kemunduran kebijakan energi nasional, “ Amin.
Aktivis asal Negeri Luhu ini mengungkapkan, dari hasil laporan IPCC menyebutkan bahwa proyek minyak dan gas baru harus ditiadakan, jika dunia ingin membatasi kenaikan suhu global dibawah 1,5°C.
Olehnya itu, kata dia, aksi penolakan masyarakat Maluku adalah bagian dari gerakan ilmiah global yang menyerukan transisi segera ke energi bersih dan berkelanjutan. Mereka (masyarakat adat) Maluku tidak hanya memperjuangkan kelestarian ruang hidupnya, tetapi juga berdiri di garis depan untuk menyelamatkan masa depan iklim dunia.
Amin mendesak Pemerintah dan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) bersama Petronas dan SK earthon untuk mempertimbangkan kembali proyek ini. Selain itu, lanjut dia, Pemerintah seyogianya dapat membuka ruang dialog partisipatif dengan masyarakat terdampak.
“ Maluku bukan zona industri bahan bakar fosil. ia adalah paru-paru biru Indonesia yang harus dilindungi. Sebagai anak Maluku saya meminta agar Pemerintah dapat membuka ruang dialog pastisipatif dengan masyarakat terdampak, “ pintanya. (IM-01)